Nasionalisme merupakan kecintaan seseorang terhadap bangsanya. Apabila bangsanya dijajah, maka ia akan berjuang untuk mengusirnya. Berikut ini adalah latar belakang lahirnya nasionalisme di Indonesia.
Sahrir, Soekarno dan Hatta |
Lahirnya Politik Etis
Setelah kaum liberal memperoleh kemenangan politik di negeri Belanda, muncullah perhatian terhadap kemakmuran rakyat jajahan. Tokoh-tokoh liberal, seperti: Van De Venter, Douwes Dekker, Baron Van Hoevell mengkritik dan mendesak pemerintah untuk meningkatkan kehidupan rakyat wilayah jajahan.
Desakan ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
- Rakyat wilayah jajahan telah bekerja keras memberikan kemakmuran melalui tanam paksa kepada Belanda.
- Belanda harus memberikan kemakmuran bagi rakyat wilayah jajahan sebagai balas budi atas kerja keras mereka. Bisa dibayangkan, keuntungan Belanda pada saat tanam paksa berjumlah 823 juta Gulden dan digunakan di Netherland (Belanda).
Garis politik kolonial baru pertama kali diucapkan secara resmi oleh Van Dadem sebagai anggota parlemen. Dalam pidatonya pada 1891 diutarakan suatu keharusan untuk memisahkan keuangan Indonesia (daerah jajahan) dari negeri Belanda, kemudian pidato Van Dadem tersebut diteruskan oleh Van Kol, Van De Venter, dan Brooschooft. Van De Venter dari kalangan Liberal menolak ide yang hanya untuk memajukan perkembangan bebas perusahaan swasta. Van De Venter ingin mengutamakan kesejahteraan moril dan materiil kaum pribumi (tanah jajahan). Menurut pendapatnya, desentralisasi pemerintahan serta penggunaan tenaga pribumi dalam administrasi Belanda harus mengembalikan keuntungan yang diperoleh dari bangsa Indonesia. Usulannya ini kemudian dikenal sebagai "politik etis" atau "politik balas budi", sesuai dengan karangan ilmiahnya yang berjudul "Hutang Kehormatan" pada 1899.
Politik Etis
Politik etis, artinya politik yang diperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat serta efisiensi (di daerah jajahan). Politik etis mulai dilakukan pada 1901 yang berisi tiga tindakan, yaitu edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (perpindahan penduduk).
a. Edukasi (Pendidikan)
Pendidikan diberikan di sekolah kelas satu kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berkedudukan atau berharta. Pada 1903 terdapat 14 sekolah kelas satu di ibukota karesidenan dan ada 29 di ibukota Afdeling. Mata pelajarannya, yaitu membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah, dan menggambar. Pendidikan kelas dua dikhususkan untuk anak-anak pribumi golongan bawah. Pada 1903, di Jawa dan Madura sudah terdapat 245 sekolah kelas dua negeri dan 326 sekolah Fartikelir, di antaranya 63 dari Zending. Adapun jumlah muridnya pada 1892 ada 50.000, pada 1902 ada 1.623 anak pribumi yang belajar pada sekolah Eropa. Untuk menjadi calon pamong praja ada tiga sekolah Osvia, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sedangkan, nama-nama sekolah untuk anak-anak Eropa dan anak kaum pribumi adalah sebagai berikut.
Pendidikan diberikan di sekolah kelas satu kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berkedudukan atau berharta. Pada 1903 terdapat 14 sekolah kelas satu di ibukota karesidenan dan ada 29 di ibukota Afdeling. Mata pelajarannya, yaitu membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah, dan menggambar. Pendidikan kelas dua dikhususkan untuk anak-anak pribumi golongan bawah. Pada 1903, di Jawa dan Madura sudah terdapat 245 sekolah kelas dua negeri dan 326 sekolah Fartikelir, di antaranya 63 dari Zending. Adapun jumlah muridnya pada 1892 ada 50.000, pada 1902 ada 1.623 anak pribumi yang belajar pada sekolah Eropa. Untuk menjadi calon pamong praja ada tiga sekolah Osvia, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sedangkan, nama-nama sekolah untuk anak-anak Eropa dan anak kaum pribumi adalah sebagai berikut.
- HIS (Hollandsch Indlandsche School) setingkat SD
- MULO (Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs) setingkat SMP
- AMS (Algemeene Middlebare School) setingkat SMU
- Kweek School (Sekolah Guru) untuk kaum bumi putra
- Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada 1902, didirikan sekolah pertanian di Bogor (sekarang IPB).
b. Irigasi (Pengairan)
Sarana vital bagi pertanian adalah pengairan dan oleh pihak pemerintah telah dibangun sejak 1885. Bangunan-bangunan irigasi Berantas dan Demak seluas 96.000 bau, pada 1902 menjadi 173.000 bau.
c. Transmigrasi (Perpindahan Penduduk)
Pada 1865 jumlah penduduk Jawa dan Madura 14 juta. Pada 1900 telah berubah menjadi dua kali lipat. Pada awal abad ke-19 terjadi migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sehubungan dengan adanya perluasan perkebunan tebu dan tembakau, migrasi penduduk dari Jawa ke Sumatra Utara karena adanya permintaan besar akan tenaga kerja perkebunan di Sumatra Utara, terutama ke Deli, sedangkan ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap.
Pada 1865 jumlah penduduk Jawa dan Madura 14 juta. Pada 1900 telah berubah menjadi dua kali lipat. Pada awal abad ke-19 terjadi migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sehubungan dengan adanya perluasan perkebunan tebu dan tembakau, migrasi penduduk dari Jawa ke Sumatra Utara karena adanya permintaan besar akan tenaga kerja perkebunan di Sumatra Utara, terutama ke Deli, sedangkan ke Lampung mempunyai tujuan untuk menetap.
0 Response to "Latar Belakang Lahirnya Nasionalisme"
Post a Comment