Kerajaan-Kerajaan Bercorak Islam di Indonesia (3)


7. Kesultanan Banten
Pada awalnya, Banten merupakan pelabuhan atau bandar besar yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M, Kesultanan Demak sedang memperluas kekuasaannya di Pulau Jawa. Perluasan wilayah ke kuasaan merupakan salah satu usaha membangun benteng pertahan an melawan Portugis, sekaligus dalam rangka penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak pada 1522 M mengutus Fatahillah untuk menguasai Banten dengan tujuan sebagai berikut:
a.  menduduki Pelabuhan Banten;
b.  menyebarkan dan melindungi umat Islam yang berada di wilayah Banten;
c.  mengamankan perdagangan lada dari monopoli Portugis;
d. menggagalkan dan mengusir Potugis dari Sunda Kelapa.


Fatahillah berhasil menguasai Cirebon dan Sunda Kelapa pada 1527 M. Sejak peristiwa itu, Sunda Kelapa berubah menjadi Jayakarta (Jakarta). Fatahillah memerintah Banten sementara daerah Cirebon diserahkan kepada anaknya, Pangeran Pasarean. Ketika pada 1552 M, Pangeran Pasarean wafat, Fatahillah mengambil alih pemerintahan. Sementara itu, Banten dipimpin oleh putranya bernama Hasanuddin (1552– 1570 M). Fatahillah yang tinggal di Cirebon lebih tekun mempelajari agama sampai wafat pada 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati.

Berkat jasa Hasanuddin, Banten berkembang menjadi kesultanan agraris dan maritim. Agama Islam dan kekuasaan Banten berkembang sampai Lampung dan Indrapura. Dalam masalah perdagangan, Banten lebih maju daripada Jayakarta. Setelah Hasanuddin wafat pada 1570 M, takhta kerajaan diteruskan oleh anaknya, Maulana Yusuf sampai 1580 M.

Secara berturut-turut, pemegang tampuk pemerintahan di Banten ialah Maulana Muhammad (1580–1605 M), di teruskan oleh Abdul Mufakhir, Abu Mali Ahmad Rahmatullah (1640–1651 M), dan Abu Fatah Abdulfatah (1651–1682 M) atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sangat membenci Belanda. Hal ini dibuktikan dengan usaha Sultan Ageng untuk melawan Belanda sebanyak tiga kali. Akan tetapi, anaknya sendiri Sultan Haji bekerja sama dengan Belanda untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Ageng. Akhirnya, Sultan Ageng ditawan Belanda dan Sultan Haji naik takhta menggantikan Sultan Ageng atas bantuan Belanda.

Dua tahun setelah Abdulnasar Abulkahar (Sultan Haji) menjadi sultan, Belanda menuntut jasa kepada sultan. Sultan dipaksa menandatangani Perjanjian Banten yang isinya mengakhiri kekuasaan mutlak atas daerahnya sendiri. Sejak saat itu, yang berkuasa di Banten sebenarnya adalah Belanda.

8. Kesultanan Cirebon
Pada abad ke-16 M, Cirebon merupakan suatu daerah kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sultan-sultan Cirebon ialah keturunan Sunan Gunung Jati yang juga salah satu wali dari Wali Songo.

Sejak masa pemerintahan Panembahan Senopati, hubungan antara Cirebon dan Mataram terjalin dengan baik. Ketika terjadi pertentangan antara Kesultanan Mataram dan Banten, Kesultanan Cirebon berada pada posisi yang sulit. Akhirnya, timbul pertentangan antara Cirebon dan Mataram. Mataram menduga bahwa Cirebon berhubungan dengan Belanda. Kesultanan Cirebon terpecah menjadi Kasultanan Kasepuhan dan Kanoman. Sejak saat itu, secara berangsur-angsur Kesultanan Cirebon jatuh ke tangan Belanda.

9. Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar di Kalimantan merupakan kesultanan Islam yang mempunyai hubungan erat dengan Kesultanan Demak. Sultan Banjar berjanji jika Kesultanan Demak membantu mereka untuk berperang melawan Nagaradipa (Nagaradaka), ia bersama seluruh rakyatnya akan masuk Islam.

Demak memenuhi permintaan tersebut dan berperang melawan Nagaradipa. Akhirnya, Kerajaan Nagaradipa dapat dikalahkan oleh pasukan Demak. Oleh karena itu, sesuai dengan perjanjian, seluruh rakyat Banjar masuk Islam. Peristiwa ini terjadi pada 1550 M. Sultan pertama Kesultanan Banjar ialah Raja Samudra yang bergelar Sultan Suryanullah atau Suryansyah. Kesultanan Banjar mengalami kemunduran setelah wafatnya Sultan Adam pada 1875 M, ketika Belanda mulai banyak mencampuri urusan pengangkatan sultan Banjar yang baru.

10. Kesultanan Makassar
Pada awal abad ke-17, rakyat daerah Makassar, baru memeluk agama Islam. Terutama pada 1605 M, ketika kedua penguasa Kerajaan Goa dan Tallo memeluk agama Islam. Sultan Alaudin dari Goa dan Sultan Abdullah dari Tallo sangat giat meng-Islamkan rakyat dan memperluas kekuasaannya. Akhirnya, dua kesultanan kembar ini menjadi kesultanan Islam besar di Sulawesi Selatan. Pengaruh kesultanan ini dirasakan sampai ke daerah lain.

Pada saat itu, Belanda sangat tertarik untuk menanamkan pengaruhnya di Makassar. Oleh karena Makassar memiliki Sombaopu sebagai pelabuhan penting bagi pelayaran di Maluku. Dengan berbagai taktik, Belanda berusaha untuk menguasai Kesultanan Makassar. Hal ini memicu terjadinya Perang Makassar (1660–1669 M). Pada saat Sultan Hasanuddin (cucu Sultan Alaudin) memerintah, banyak rakyat Makassar yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Mereka melakukan berbagai perlawanan dengan bergabung pada pasukan-pasukan yang anti-Belanda. Selain melakukan perlawanan terhadap Belanda, Sultan Hasanuddin juga harus menghadapi pemberontakan Aru Palaka. Aru Palaka ialah bangsawan Bone yang bersekutu dengan Belanda. Menghadapi dua musuh besar, Hasanuddin akhirnya harus tunduk pada Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Seluruh isi perjanjian tersebut sesuai dengan keinginan Belanda. Misalnya, keinginannya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Makassar dan mendirikan benteng pertahanan di kota tersebut.

11. Kesultanan di Maluku
Kesultanan Ternate dan Tidore adalah dua kesultanan Islam yang berada di Maluku. Sunan Giri, salah satu dari Wali Songoberjasa dalam penyebaran agama Islam di daerah ini. Sultan Ternate masuk agama Islam pada 1485 M. Banyak rakyat Ternate dan Tidore yangkemudian mengikuti jejak sultannya untuk memeluk agama Islam.

Kesultanan Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempah-rempah. Kesultanan ini berkembang menjadi kesultanan maritim dan agraris (pertanian)yang maju. Namun, di antara kedua kesultanan tersebut sering terjadi persengketaan memperebutkan daerah kekuasaan di Maluku. Keadaan ini dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa asing yang datang ke Maluku.

Pada 1521 M, Portugis memasuki Maluku dan langsung membantu Ternate. Begitu pula dengan Spanyol langsung membantu Tidore. Akibatnya, terjadilah perang di antara kedua bangsa asing tersebut. Persengketaan  tersebut  dapat  diselesaikan  melalui Perjanjian Saragosa. Isi perjanjian tersebut, yaitu Spanyol harus meninggalkan Maluku dan menguasai Filipina. Adapun Portugis untuk sementara dapat menguasai Maluku.

Penguasaan Portugis di Maluku mendapat perlawanan dari Sultan Khairun (1550–1570 M). Akan tetapi, dengan muslihat Jendral De Masquita, perlawanan Sultan Khairun dapat dipatahkan. Perjuangannya diteruskan oleh Sultan Baabullah (1570–1583 M). Usaha Sultan Baabullah mengusir Portugis berhasil pada 1575 M. Atas desakan bangsa Belanda yang merupakan musuh Portugis, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku dan singgah di Timor Timur pada 1605 M. Dengan mudah mereka dapat menguasai pangkalan Ambon, Ternate, Tidore, dan Halmahera.

Selama dikuasai Belanda, rakyat Maluku merasa tertekan dengan monopoli Belanda. Belanda memonopoli hasil rempah-rempah dan untuk mempertahankan monopolinya, Belanda mengadakan pelayaran hongi. Pelayaran hongi adalah pelayaran keliling dengan perahu kora-kora untuk mengawasi peraturan monopoli perdagangan dan penanaman cengkih di Maluku yang dikeluarkan oleh Belanda. Bagi rakyat Maluku yang menyalahi aturan tersebut akan dikenakan sanksi.

Pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780–1805 M) Maluku mencapai kejayaannya dan dengan bantuan Inggris, Sultan Nuku dapat mengusir Belanda. Sejak itulah, Maluku tidak lagi diganggu oleh kekuasaan bangsa asing.

1 Response to "Kerajaan-Kerajaan Bercorak Islam di Indonesia (3)"

  1. Thanks ya artikelnya, ni sangat bermanfaat buat aku... izin copy ya??

    ReplyDelete