1. Kesultanan Samudra Pasai
Kesultanan Samudra Pasai adalah kesultanan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada abad ke-13 M. Sultan pertamanya, yaitu Malik al-Saleh. Sebelum menganut agama Islam, sultan ini bernama Marah Silu. Sultan Malik al-Saleh beralih menganut agama Islam setelah memperistri putri Raja Perlak. Naiknya Malik al-Saleh menjadi pemimpin pemerintahan dianggap sebagai awal dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasai. Hal ini dapat diketahui dari batu nisan Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 653 H atau 1297 M. Sultan Malik al-Saleh digantikan oleh putranya Sultan Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Sultan Malik at-Thahir. Beliau memerintah sampai 1326 M.
Beliau sangat dicintai rakyat karena kebijaksanaan serta ketaatannya sebagai pemeluk agama Islam. Sepeninggal Sultan Malik at-Thahir, jalannya pemerintahan kerajaan dilanjutkan oleh putranya, yaitu Sultan Ahmad. Informasi mengenai keadaan masyarakat Kesultanan Samudra Pasai diketahui dari catatan perjalanan Marcopolo. Ia seorang pedagang Venesia yang dalam perjalanan pulangnya dari Cina singgah di Perlak (1292 M). Informasi lain juga diperoleh dari catatan Ibnu Batutah. Dalam perjalanannya dari India ke Tiongkok dan juga dalam perjalanan nya pulang kembali, beliau singgah di Pasai (1326 M).
Menurut catatan perjalanan mereka, masyarakat Samudra Pasai adalah masyarakat pedagang yang beragama Islam. Terutama masyarakat yang tinggal di pesisir timur Sumatra. Namun, sebagian penduduknya terutama yang tinggal di pedalaman masih menganut kepercayaan lama. Menurut catatan, diketahui bahwa kesultanan ini menjadi pusat penyebaran agama Islam ke daerah Sumatra dan Malaka. Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting. Banyak kapal dari India, Tiongkok, dan daerah lain di Indonesia yang singgah dan bertemu untuk membongkar dan memuat barang-barang dagangannya. Pada 1521 M, Kesultanan Samudra Pasai dikuasai oleh Portugis selama tiga tahun. Pada akhirnya Samudra Pasai dikuasai oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh pada 1524 M.
2. Kesultanan Malaka
Menurut versi sejarah Melayu dan Majapahit, kesultanan ini didirikan oleh seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit bernama Paramisora. Paramisora melarikan diri dari Blambangan karena diserang oleh Majapahit dan menetap di Malaka. Bersama sejumlah pengikutnya, dia membangun Malaka dan mengembangkannya menjadi pelabuhan penting di Selat Malaka. Akibat letaknya yang sangat strategis di Selat Malaka, kesultanan ini menjadi saingan berat bagi Samudra Pasai.
Setelah Sultan Muhammad Iskandar Syah meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Mudzafar Syah (1445–1458 M). Pada masa pemerintahannya, Malaka menjadi pusat perdagangan antara timur dan barat. Kedudukannya semakin kuat, melebihi Samudra Pasai. Bahkan, Sultan Mudzafar Syah dapat menguasai Pahang, Kampar, dan Indragiri. Berturut-turut nama-nama sultan pengganti Sultan Mudzafar Syah, antara lain Sultan Mansur Syah (1458–1477 M), Sultan Alaudin Syah (1477–1488 M), dan Sultan Mahmud Syah (1488–1511 M).
Pelabuhan Malaka menjadi pusat kegiatan ekonomi bukan hanya untuk Kesultanan Malaka, melainkan juga untuk kawasan Indonesia. Pada masa ramainya perdagangan, para pedagang Indonesia banyak yang berlabuh di Pelabuhan Malaka. Mereka melakukan transaksi dagang dengan pedagang dari Arab, Persia, Gujarat, Benggala, dan Cina. Dengan demikian, Pelabuhan Malaka juga berfungsi sebagai pelabuhan internasional.
Pada 1511 M, Kesultanan Malaka mengalami keruntuhan setelah direbut oleh bangsa Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Dengan demikian, kekuasaan politik Kesultanan Malaka hanya berlangsung selama kurang lebih satu abad.
3. Kesultanan Aceh
Awal berdiri dan tumbuhnya Kesultanan Aceh berkaitan dengan keruntuhan Kesultanan Malaka. Setelah Malaka jatuh pada 1511 M, banyak orang Melayu di Malaka yang menyeberang Selat Malaka dan bermukim di Aceh. Menurut sejarah Melayu, raja pertama Kesultanan Aceh ialah Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan ini berkembang selama empat abad sampai Belanda mengalahkannya dalam Perang Aceh (1873–1912 M).
Masjid Raya Aceh |
Sistem perdagangan, pemerintahan yang teratur, dan terpeliharanya kebudayaan Islam merupakan faktor penting yang menyebabkan Aceh dapat bertahan sejajar dengan kesultanan-kesultanan Islam lainnya, seperti Kesultanan Turki Usmaniah dan Kesultanan Maroko.
Lokasi pelabuhan-pelabuhan Kesultanan Aceh yang strategis, menarik pedagang dari barat dan timur untuk berdagang di kesultanan ini. Para pedagang asing yang biasa bertransaksi di pelabuhan-pelabuhan Kesultanan Aceh, antara lain pedagang dari Benggala yang membawa sapi, bahan tenun, dan candu. Pedagang Pegu, Calicut, Koromandel, dan Gujarat yang membawa bahan tenun, pedagang Eropa membawa minyak wangi, serta pedagang Cina dan Jepang yang membawa porselin dan sutra. Selain lada, Aceh juga mengekspor beras, timah, emas, perak, dan rempah-rempah. Barang-barang tersebut tidak semuanya berasal dari Aceh, tetapi dari pelabuhan lain di Nusantara yang singgah di pelabuhan Aceh.
Sultan Kesultanan Aceh yang terkenal ialah Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaan. Wilayahnya, meliputi Pariaman di Sumatra Barat, Indragiri di Sumatra Timur, Deli, Nias, Johor, Pahang, Kedah, dan Perlak. Kesultanan Aceh memperkuat kedudukannya sebagai pusat perdagangan dengan menyerang kedudukan Portugis di Malaka pada 1629 M. Namun, usaha tersebut tidak berhasil karena Portugis berhasil mendatangkan bala bantuan pasukannya dari Gowa, India. Sultan Iskandar Muda wafat pada 1636 M dan digantikan oleh Sultan Iskandar Thani. Pada masa pemerintahannya, kejayaan Kesultanan Aceh semakin meningkat. Namun, berbeda dengan pendahulunya, Sultan Iskandar Thani lebih memen tingkan pengembangan di dalam negerinya. Sepeninggal Sultan Iskandar Thani, Kesultanan Aceh lambat laun mulai mengalami kemunduran. Meskipun demikian, Kesultanan Aceh dapat bertahan sampai awal abad ke-20 M.
thanks ya gan artikelnya, ini sangat bermanfaat buat aku... izin copy ok?
ReplyDelete