Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang
Diponegoro merupakan perang besar yang dihadapi Belanda di Jawa. Peristiwa
perang Diponegoro tidak terlepas dari situasi politik Keraton Yogyakarta pada
masa itu. Pangeran Diponegoro, yang nama kecilnya Raden Mas Ontowiryoadalah
putera pertama Hamengku Buwono III. Ia lahir dari seorang selir. Pasca
pemerintahan Hamengku Buwono I, situasi politik Keraton Yogyakarta tidak
stabil. Ketidakstabilan itu terjadi karena Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh)
dianggap tidak dapat mengendalikan pemerintahan. Akhirnya Sultan Hamengkubuwono
II diasingkan. Pengganti Hamengku Buwono II adalah Hamengku Buwono III (Sultan
Raja). Setelah Hamengku Buwono III wafat (1814), kekuasaan dipegang oleh
Pangeran Jarot. Ia adalah putra Hamengku Buwono III yang lahir dari permaisuri.
Ia bergelar Hamengku Buwono IV.
Pangeran Diponegoro ditangkap saat perundingan |
Hamengku Buwono IV bergaya hidup mewah dan suka
memasukkan hal-hal yang baru ke lingkungan keraton. Ia wafat secara tiba-tiba,
sehingga diangkatlah putranya yang masih kecil, yakni Sultan Menol (Hamengku
Buwono V) sebagai penggantinya. Sementara itu, Pangeran Diponegoro dan Pangeran
Mangkubumi diangkat sebagai wali sultan. Karena kecewa, Pangeran Diponegoro
mundur dari dewan perwalian. Ia tidak mau turut campur lagi dalam urusan
istana. Pangeran Diponegoro meninggalkan kemewahan keraton dan tinggal di
Tegalrejo. Perang Diponegoro merupakan perang terbesar di Pulau
Jawa. Secara umum penyebab perang Diponegoro adalah sebagai berikut.
Pengurangan daerah Mataram.
Pengurangan
ini sudah terjadi sejak Daendels dan Raffles sehingga daerah apanage menjadi
kecil. Apanage adalah daerah yang diberikan kepada keluarga raja, tanpa jasa
kerja. Adanya
bermacam-macam pajak dari Belanda, apalagi pajak tersebut diborongkan kepada orang-orang
Tionghoa. Pajak tersebut antara lain pajak tanah, rumah, jembatan, pintu, dan sebagainya.
Adanya
aturan van der Capellen yang melarang menyewa tanah dan penduduknya untuk
perkebunan kepada swasta. Maksudnya agar tidak menyaingi perkebunan milik
pemerintah. Yang sudah terlanjur menyewakan tanahnya diminta mengembalikannya
kepada pemerintah. Kemiskinan
rakyat dan adanya perlakuan tidak adil dari penjajah. Campur
tangan pemerintah Belanda dalam urusan intern keraton.
Secara
khusus, penyebab Diponegoro mengobarkan perang terhadap Belanda adalah sebagai berikut.
- Pengangkatan khotib dilakukan oleh Patih Danurejo, padahal itu merupakan hak raja (wali raja). Tindakan patih ini dibenarkan oleh Belanda, maka Pangeran Diponegoro meninggalkan istana dan pergi ke Tegalrejo.
- Belanda mau membuat jalan melalui tanah makam keluarga Diponegoro. Sebagai protes terhadap tindakan tersebut, patok-patok sebagai tanda rencana pembuatan jalan dicabuti oleh Diponegoro. Belanda kemudian menyuruh Mangkubumi untuk membujuk Diponegoro, tetapi gagal. Akhirnya, pada tanggal 20 Juli 1825 pecah Perang Diponegoro.
Dalam perang
besar ini, Pangeran Diponegoro mendapat bantuan dari banyak pihak, antara lain
Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Sentot Alibasyah Mustafa
Prawirodirjo, (putera bupati Maospati, Madiun), Kyai Mojo (seorang ulama),
Pangeran Ngabehi Jaya Kusuma, dan rakyat yang memberikan dukungan penuh
terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dengan mudah dapat
menghimpun kekuatan rakyat. Ia melancarkan siasat perang gerilya dan
menghindari perang terbuka karena persenjataannya jauh tidak seimbang
dibandingkan dengan persenjataan Belanda. Benteng gerilya Pangeran Diponegoro
terdapat di Gua Selarong, Dekso, lereng Gunung Merapi, dan daerah Bagelen.
Kesulitan dalam menghadapi perlawanan Diponegoro menyebabkan Belanda
melaksanakan Sistem Benteng (Benteng Stelsel). Belanda mendirikan benteng di
daerah yang telah berhasil dikuasai dengan suatu penjagaan. Tujuan dari sistem
benteng ini adalah untuk mempersempit ruang gerak pasukan Pangeran Diponegoro.
Sebagai usaha untuk menghentikan perlawanan Diponegoro, Belanda melaksanakan
politik devide et impera. Belanda mengangkat kembali Hamengku Buwono II menjadi
raja. Belanda juga memanfaatkan Sunan Surakarta dan Mangkunegara yang telah
berpihak pada Belanda. Akhirnya, pada tahun 1827 beberapa pangeran menyerah
kepada Belanda. Pada tahun 1828, Kyai Mojo ditangkap dan diasingkan ke Manado.
Ia meninggal di sana pada tahun 1848. Pada tahun 1829, Pangeran
Mangkubumi menyerah kepada Belanda. Sentot Prawirodirjo tertangkap, kemudian
dibawa ke Batavia. Pada Tahun 1830, ia dimanfaatkan Belanda untuk melawan kaum
Paderi di Sumatera Barat. Akan tetapi, Sentot Prawirodirjo justru berpihak pada
kaum Paderi. Oleh karena itu, ia ditangkap dan dibuang ke Bengkulu sampai wafat
pada tahun 1855.
Dalam
keadaan yang sangat sulit ini, Pangeran Diponegoro diajak berunding oleh
Jenderal Hendrick Marcus de Kockdi Magelang, Jawa Tengah. Pangeran Diponegoro
mendapat jaminan jika perundingan gagal, ia diizinkan kembali ke pasukannya.
Akan tetapi, ternyata hal tersebut merupakan tipu daya. Ketika perundingan itu
mengalami kegagalan, Pangeran Diponegoro ditangkap. Ia diasingkan ke Manado
(1830). Pada tahun 1839, ia dipindahkan ke Makassar. Ia wafat di Makassar pada
8 Januari 1855. Dengan demikian, perlawanan Diponegoro dapat dipatahkan.
0 Response to "Perang Diponegoro (1825-1830)"
Post a Comment