Sampai tahun
1870, Aceh merupakan kerajaan yang merdeka dan mempunyai letak yang strategis,
baik secara ekonomi maupun militer. Setelah Terusan Suez dibuka pada tahun
1869, peran Aceh menjadi semakin penting. Pada tahun 1871, diadakan Traktat
London III sehingga Inggris melepaskan tuntutannya terhadap Aceh. Sebagai
gantinya, Belanda menyerahkan Sri Lanka kepada Inggris. Dengan perjanjian itu,
Belanda mempunyai hak untuk menguasai Aceh.
Pada tahun 1873, Belanda mulai melaksanakan aksi militer dengan menyerang dan menduduki istana sultan serta membakar Masjid Raya Aceh, Baitur Rahim. Tindakan Belanda ini menimbulkan kemarahan rakyat dan ulama Aceh. Rakyat Aceh mengadakan perlawanan yang menewaskan Jenderal Kohler. Perlawanan rakyat Aceh disemangati oleh perang agama dalam mengusir orang Belanda yang dianggapnya kafir sehingga perang tersebut dikenal sebagai perang jihad. Sistem gerilya digunakan rakyat Aceh dalam menghadapi Belanda. Sementara itu, Belanda menggunakan siasat konsentrasi stelsel.
Konsentrasi stelsel adalah pemusatan kekuatan dalam satu benteng. Siasat ini sangat lemah karena bersifat pasif. Artinya, kalau tidak diserang musuh berarti keadaan dianggap aman. Apabila terjadi serangan, Belanda menderita banyak kerugian karena serangan dilaksanakan pada saat Belanda dalam keadaan lengah. Korban yang semakin meningkat dan keuangan yang semakin kosong, mendorong Belanda melaksanakan siasat lain. Seorang ahli hukum Islam dan ahli bahasa-bahasa Timur dikirim ke Aceh untuk menyelidiki adat-istiadat dan kekuatan rakyat Aceh. Tokoh itu adalah Dr. Snouck Hurgronje. Ia mempunyai nama samaran Abdul Gafar. Hasil penyelidikannya dirumuskan dalam bukunya yang berjudul De Acehers yang berisi cara untuk dapat mengalahkan rakyat Aceh. Dalam buku tersebut, Belanda dianjurkan melakukan hal-hal berikut
- Menyingkirkan semua golongan ulama.
- Menggempur kaum ulama.
- Mendirikan pangkalan-pangkalan tetap diAceh.
- Mengadakan gerakan pasifikasi, yaitu dengan mempertinggi kesejahteraan rakyat untuk menarik simpati rakyat Aceh.
Siasat yang
dikemukakan Dr. Snouck Hurgronje ini didukung oleh Jenderal van Heutz.Ia
menyatakan bahwa penyelesaian perang Aceh dilakukan melalui operasi militer.
Untuk itu, Jenderal van Heutz membentuk pasukan gerak cepat. Sebelum siasat Dr.
Snouck Hurgronje dan van Heutz dilaksanakan, Belanda melaksanakan anjuran
Jenderal Deykerhoff, yaitu politik adu domba. Artinya, orang Aceh harus dilawan
oleh orang Aceh sendiri. Belanda mendekati alim ulama dan para hulubalang
dengan janji gaji besar dan pangkat tinggi.
Seorang
pejuang Aceh, yakni Teuku Umar menerima tawaran ini. Akan tetapi, setelah
mendapat kepercayaan dari Belanda berupa uang dan persenjataan yang cukup,
Teuku Umar menghilang. Ia menyingkir ke pedalaman untuk melanjutkan perlawanan
lagi. Belanda yang merasa tertipu oleh Teuku Umar, kemudian melaksanakan
anjuran dari Dr. Snouck Hurgronjedan van Heutz. Van Heutz segera membentuk
pasukan gerak cepat yang diberi nama pasukan marchose. Pasukan ini adalah
pasukan gerak cepat yang diperlengkapi klewang dan senapan. Pasukan Aceh
diserang terus-menerus. Mulai dari Aceh Tengah ke Aceh Selatan. Teuku Umar
gugur dalam pertempuran di dekat Meulaboh pada tahun 1899. Dengan gugurnya
Teuku Umar, perlawanan Aceh semakin kendor. Banyak tokoh Aceh menyerah.
Pada tahun
1903, Sultan Mohammad Daudsyah menyerah, dan wafat dalam pengasingan di
Batavia. Di tahun yang sama, Panglima Polim menyerah. Diikuti Cut Nyak Dien
yang tertangkap dan diasingkan ke Sumedang pada tahun 1905. Cut Meutia gugur
tahun 1910. Terakir, Teuku Cik di Tiro menyerah tahun 1912. Aceh akhirnya
mengalami kekalahan. Aceh dipaksa untuk menandatangani Korte Verklaring atau
Plakat Pendek. Isi plakat tersebut sebagai berikut.
- Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh.
- Aceh berjanji tidak mengadakan hubungan dengan negara lain.
- Aceh akan menaati peraturan gubernemen (Belanda).
Karena
jasanya, van Heutz diangkat menjadi gubernur jenderal. Ia lalu digantikan oleh
van Daalen. Van Daalen terkenal kejam dan kurang bijaksana sehingga menimbulkan
pemberontakan lagi. Perang Aceh oleh Belanda dinyatakan sudah selesai pada
tahun 1904. Namun, perlawanan rakyat tetap berlangsung terutama berpusat di
Pegunungan Gayo yang sukar didatangi oleh Belanda. Pemimpin perlawanan
tersebut, antara lain Cut Meutia. Karenanya, pada tahun 1917, “Barisan Macan”
di bawah pimpinan Christoffel melakukan pengejaran sampai ke Gayo. Namun,
rakyat Aceh tidak benar-benar tunduk kepada Belanda.
0 Response to "Perang Aceh (1873 - 1904)"
Post a Comment