Reaksi Rakyat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda


Ketika bangsa Indonesia ditindas, disiksa, rakyat pun harus bangkit untuk melawannya. Berikut ini adalah perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda.




1.  Perlawanan Kapiten Pattimura
Ketika Inggris menggantikan Belanda (1811 - 1816), penduduk Maluku tidak merasa tertekan, karena Inggris membayar hasil bumi dengan harga yang tinggi dari pada Belanda, juga kapal-kapal Inggris sering datang membawa barang-barang yang berguna bagi penduduk, kerja paksa dikurangi, dan yang tak kalah penting bagi perjuangan bangsa adalah Inggris menghargai pemuda Maluku untuk ikut dinas angkatan perang Inggris sebagai prajurit penuh. Akan tetapi, Belanda kembali ke Maluku pada 1817. 

Timbul rasa gelisah di antara penduduk dan berniat menolak kembali Belanda ke tanah Maluku. Pusat perlawanan mulai tumbuh, terutama di Saparua, dibawah pimpinan Thomas Matulessy (Pattimura) dan pemimpin-pemimpin lainnya, seperti Antonie Rhebox, Thomas Pattiweal, Lucas Lattumahina, Said Perintah, Paulus Tiahahu, dan Ulupoha. Rakyat bergerak menolak kembalinya Belanda.

Perlawanan rakyat Maluku diawali dengan membakar perahu Pos di Porto (pelabuhan) pada 15 Mei 1817 dan mengepung Benteng Duurstede. Keesokan harinya rakyat berhasil menguasai benteng dan menembak mati Residen Maluku, Van De Berg. Pada 14 Mei 1817, Pattimura mulai memimpin perlawanan kepada Belanda, terutama di Porto. Belanda kesulitan, akhirnya Belanda meminta bantuan dari Ambon. Dikirimlah pasukan sebanyak 200 orang pada Juli 1817. Untuk kedua kalinya Belanda datang ke Saparua dan berhasil menguasai Benteng Duurstede pada Agustus 1817.

Pejuang Maluku kemudian melanjutkan perjuangan dengan sistem gerilya. Belanda ingin secepatnya menangkap pemimpin-pemimpin perlawanan. Selain mengerahkan pasukan yang banyak, Belanda juga mengumumkan bahwa mereka akan diberi hadiah 100 Gulden bagi siapa saja yang dapat menangkap Pattimura dan 500 Gulden untuk pemimpin-pemimpin lainnya. Akan tetapi, rakyat Maluku tidak tergiur oleh hadiah tersebut. Pada Oktober 1817, Belanda berkeinginan untuk segera menyelesaikan perang. Untuk itulah pada bulan tersebut Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya, Pattimura dan pemimpin-peminpin lainnya dapat ditangkap Belanda, dan pada 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di Kota Ambon.

Dalam Perang Maluku dikenal pula pahlawan wanita, Christina Martha Tiahahu dan sering dijuluki Mutiara dari Timur, yang ikut berjuang melawan Belanda sekalipun usia yang masih muda (17 tahun) dan wafat 1 Januari 1818 dalam pengasingan (pembuangan) di Pulau Jawa.

2.  Perlawanan Tuanku Imam Bonjol
Di Minangkabau Sumatra Barat, pada abad ke-19 terjadi perselisihan antara kaum Paderi dengan kaum Adat. Kaum Paderi, yaitu para pemeluk agama Islam yang tidak dipengaruhi oleh adat kebiasaan. Sedangkan, kaum Adat adalah pemeluk Islam yang banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan yang kurang baik, seperti berjudi, menyabung ayam, dan lain-lain.

Dalam perjuangannya, Tuanku Imam Bonjol dibantu oleh Tuanku Ranceh, Tuanku Nan Cerdik, dan Tuanku Nan Peasaman. Setelah terjadi perang saudara, kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Belanda. Pada 1821, Belanda ikut campur dan membantu kaum Adat. Belanda menyerbu Tanah Datar pada 1822 dengan menggunakan siasat benteng, seperti Benteng Fort de Kock di Bukit Tinggi. Karena kalah persenjataannya, kaum Paderi mundur.

Setelah peperangan yang cukup lama, pada 1832 Belanda dapat menguasai Bonjol. Kaum Adat menyadari bahwa bantuan Belanda hanya siasat adu domba, sebenarnya Belanda ingin menguasai Minangkabau. Pada 1837 Belanda kembali dan meningkatkan penyerangannya ke Bonjol dibawah pimpinan Letnan Kolonel Micheels. Bonjol jatuh ke tangan Belanda, karena serangan tidak seimbang. Tuanku Imam Bonjol melarikan diri.

Pada 28 Oktober 1837 Belanda mengundang Imam Bonjol untuk berunding. Kemudian, Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Cianjur. Pada 1839, Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon, kemudian Minahasa sampai wafatnya (1864).

3.  Perang Diponegoro (1825 - 1830)
Putra Sultan Hamengkubuwono III yang lahir pada 1785 diberi nama Raden Mas Ontowiryo, kemudian dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Sejak kecil beliau diasuh oleh Ratu Ageng Janda Hamengkubuwono I.

Pangeran Diponegoro sangat sedih melihat penderitaan rakyat saat itu. Tanah-tanah rakyat diambil untuk dijadikan perkebunan Belanda. Kebencian Pangeran Diponegoro tambah memuncak setelah mengetahui bahwa Belanda mematok tanah leluhurnya untuk dijadikan jalan antara Magelang-Tegalrejo. Bersama rakyat, Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok tersebut dan diganti dengan tombak. Atas tindakan Pangeran Diponegoro, Belanda marah dan menandakan tantangan perang.

Perang Diponegoro terjadi pada 12 Juli 1825 dan berakhir pada 1830. Berikut ini adalah sebab-sebab terjadinya Perang Diponegoro:
  1. masuknya pengaruh Barat dalam lingkungan keraton, seperti minum-minuman keras;
  2. Belanda akan mempersempit kekuasaan raja-raja; dan
  3. rakyat menderita akibat tingginya pajak dan kerja paksa.
Dalam perlawanannya melawan Belanda, Pangeran Diponegoro dibantu oleh Pangeran Mangku Bumi, Kyai Maja, Sentot Alibasyah Prawirodirjo dari kalangan muda. Pangeran Diponegoro dalam peperangannya menggunakan sistem gerilya. Sedangkan, Belanda menggunakan sistem Benteng Stelse.

Pangeran Diponegoro juga disebut sebagai pahlawan dari Gua Selarong. Karena, Pangeran Diponegoro ketika sampai di Selarong ia bertapa di gua tersebut. Dalam peperangan tersebut banyak pasukan Belanda yang tewas. Akibat Belanda sering mengalami kekalahan dan perang berlangsung lama, maka banyak memakan biaya perang. Untuk menghentikan peperangan tersebut, Belanda mengeluarkan siasat, yaitu:
  1. Belanda mengembalikan Sultan Hamengkubuwono II (Kakak Pangeran Diponegoro) yang dibuang ke Penang oleh Raffles. Pangeran Diponegoro tetap melanjutkan peperangan.
  2. Belanda akan memberikan hadian sebesar 50.000 Gulden kepada siapa saja yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro.
  3. Belanda menangkap Kencono Wungu (Ibu Pangeran Diponegoro), tetapi juga tidak menyurutkan semangat perangnya, usaha itu juga tidak berhasil.
Setelah peperangan berlangsung tiga tahun, Kyai Maja dan Sentot Alibasyah tertangkap. Akan tetapi, Pangeran Diponegoro tetap semangat melanjutkan peperangan untuk mengusir Belanda dari tanah Jawa.

Dengan tipu daya, Belanda mengajak Pangeran Diponegoro berunding. Perundingan itu diadakan di Magelang di rumah seorang residen. Bila perundingan itu gagal, Pangeran Diponegoro boleh kembali ke tempatnya. Pada 18 Maret 1830 perundingan dimulai, Belanda dipimpin oleh Jenderal De Kock, panglima perang Belanda. Akan tetapi, Pangeran Diponegoro malah ditangkap dan dibuang ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makasar sampai wafatnya 8 Januari 1855.

4. Perang Bali
Pada 1844 dua buah kapal Belanda terdampar di Pantai Sangset Bali. Daerah tersebut merupakan wilayah kekuasaan Buleleng. Kerajaan Buleleng menganut hukum Tawan Karang, artinya hak menawan kapal-kapal yang terdampar di Pulau Bali. Belanda mengirim utusan agar kapal-kapal Belanda dilepaskan dan untuk menghapus hak Tawan Karang. Raja Buleleng serta patihnya yang bernama Gusti Ketut Jelantik tidak menghiraukan permintaan Belanda.

Tahun 1864 Belanda menyerang Buleleng, Benteng Buleleng Jagaraga dan istana Buleleng dikuasai Belanda. Setelah Belanda menguasai kerajaan, Buleleng dimanfaatkan oleh raja-raja di Bali untuk merebut kembali kerajaan Buleleng dari tangan Belanda. Setelah terdengar berita bahwa istana Buleleng dikuasai oleh raja-raja Bali,Belanda mengirim pasukan dan menyerbu Benteng Jagaraga pada 1849. Dalam peperangan tersebut rakyat Bali dipimpin oleh Gusti Ketut Jelantik dan rakyat berperang habis-habisan. Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang Puputan. 

Dalam perang tersebut, Belanda mengerahkan pasukan besar dengan jumlah 5000 pasukan dibawah pimpinan Mayjen A.V. Michiels. Sejak jatuhnya Buleleng, perjuangan rakyat makin lemah. Karang Asam dan Klungkungan masih melakukan perlawanan, tetapi Bedung, Bali, dan Jembrano sudah menyerah. Pada 1849 seluruh Bali dapat dikuasai Belanda.

5.  Perlawanan Pangeran Antasari
Untuk menguasai satu daerah, Belanda selalu menggunakan politik adu domba. Begitu juga yang terjadi di Kerajaan Banjar Kalimantan. Pada 1859 Belanda mengangkat Sultan Tajmid yang tidak disukai oleh rakyat menjadi Sultan di Banjar. Padahal, ada yang lebih berhak menjadi sultan di Banjar, yaitu Pangeran Hamid. Pangeran Antasari membela Pangeran Hamid dengan melawan Belanda. Sultan Tajmid yang diangkat menjadi Sultan Banjar oleh Belanda mendapat perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dibantu oleh kepala-kepala daerah. Mereka sepakat untuk mengusir Belanda dari Banjar.

Pada 18 April 1959, pecahlah perang yang dikenal dengan nama Perang Banjar. Kekuatan Antasari yang semula 6000 orang makin lama makin bertambah sehingga Belanda mendapat kesulian. Pada Oktober 1862, Pangeran Antasari merencanakan serangan besar-besaran terhadap Belanda. Dalam keadaan pasukan yang siap tempur, tiba-tiba muncul wabah penyakit cacar melanda di daerahnya. Akibatnya, Pangeran Antasari terkena penyakit tersebut dan meninggal pada 11 Oktober 1862 di Bayan, Kalimantan Selatan. Beliau dimakamkan di Banjarmasin. Gelar beliau adalah Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.

6.  Perlawanan Tengku Cik Ditiro
Tengku Cik Ditiro dilahirkan pada 1836 dengan nama kecilnya Muhammad Saman. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama, kemudian ia menunaikan haji. Pada Mei 1881, Pasukan Cik Ditiro dapat merebut benteng Belanda di Indragiri, kemudian menyerang ke Pulau Breuh dengan harapan pada 1883 Belanda dapat diusir dari Bumi Aceh. Belanda mengalami kesulitan untuk menundukkan Cik Ditiro. Belanda membujuk damai, namun Cik Ditiro menolaknya.

Karena Belanda kesulitan membujuk Cik Ditiro, akhirnya Belanda menggunakan cara halus, yaitu dikhianati oleh teman seperjuangannya, seorang wanita, dengan berpura-pura mengantar makanan yang sudah ditaburi racun. Kemudian, beliau sakit dan wafat pada Januari 1891 di Benteng Apeuk Galang Aceh.



0 Response to " Reaksi Rakyat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda"

Post a Comment