Kisah Inspiratif "Persinggahan"



Kenangan itu memenuhi kepalaku. Kehidupanku di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tempat aku pernah menetap kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu. Saat itu, aku masih berusia belasan tahun. Kampung halaman yang tandus, kemiskinan dan kematian kedua orang tuaku, memaksaku meninggalkan kampung halaman untuk sekadar bertahan hidup.

Aku melewati kota kecil itu lagi semalam. Kereta yang kutumpangi melintas di stasiun kecilnya yang lengang menjelang dini hari. Kereta api penumpang memang tidak pernah berhenti di stasiun kecil itu kecuali sekadar untuk menunggu sinyal. Kereta juga melintasi pintu perlintasan kereta api di ujung kota, tempat aku pernah termangu memandangi kereta yang melintas dengan perut kosong. Sambil berharap menjadi salah seorang penumpang yang tertidur lelap dengan perut kenyang. 



Kenang-kenangan itu masih memenuhi kepalaku sampai aku menyelesaikan transaksi bisnis di Surabaya dua hari kemudian. Hampir jam tujuh malam saat aku menginjakkan kakiku kembali di kota kecil itu. Jalanan masih ramai. Beberapa mobil angkutan, dokar, dan becak sesekali melintas. Dulu, lepas maghrib, ketika suara puji-pujian berkumandang dari masjid agung di depan alun-alun, nyaris tidak ada kendaraan melintas di jalan raya. Penduduk lebih suka melewatkan malam di masjid,
langgar, atau berkumpul bersama keluarga.

”Penginapan, Pak....” Tukang becak setengah baya itu menatapku.
”Penginapan mana, Pak, Hotel Melati, Harum, atau Tresno?”

Seingatku hanya ada satu penginapan di kota ini, Wisma Resik yang terletak di depan alun-alun. Penginapan yang berseberangan dengan tempat kosku dulu. Aku ingin menginap di Wisma Resik karena ingin bertemu dengan Pak Budi, pelayan wisma, yang selama tiga tahun menjadi teman akrabku.

”Wisma Resik di alun-alun....”
”Hotel Tresno saja, Pak, lebih bagus,” ia mencoba membujukku.
Aku menggeleng.

Wisma itu masih seperti dulu. Sederhana, tapi bersih dan terawat. Cat temboknya sebagian sudah terkelupas. Aku memasuki lobi, mencari-cari sosok Pak Budi yang biasanya duduk di ruang tamu, siap menerima tamu dengan keramahannya, tetapi sia-sia.

”Selamat malam, Pak....” Seorang pemuda mengejutkanku.
”Selamat malam..., saya ingin pesan kamar”.
”Baik, Pak. Kamar mandi di dalam atau di luar?”
”Di dalam.”

Ia mengambilkan kunci kamar untukku.
”Dik, Pak Budi tidak bertugas?”
Pemuda itu memandangku.
”Bapak belum tahu? Pak Budi meninggal lima tahun yang lalu,” katanya pelan.

Bayangan Pak Budi berkelebat di mataku. Senyumnya, sosoknya yang bersahaja, dan kebaikan hatinya. Aku merasakan kesedihan dan kehilangan sekaligus. Pemuda itu mengantarku ke kamar dan meninggalkanku sendirian setelah berpesan untuk memanggilnya bila membutuhkan bantuan. Aku membaringkan tubuhku di dipan kayu yang kasurnya terasa keras. Suara air yang menetes dari kran kamar mandi memenuhi kamarku. Selebihnya, tidak ada suara apapun. Perasaan asing dan sepi yang biasa kurasakan merayapi hatiku. Mula-mula samar, makin lama makin kuat dan menjeratku sehingga merasa tak bisa bernapas. Perasaan yang sering menyerangku sejak kematian istri dan putraku satu-satunya dua tahun yang lalu. Untuk menghindari malam-malam seperti ini, aku selalu bekerja hingga larut malam dan menghabiskan sisa-sisa malam di cafe. Sekadar duduk dan minum soft drink di tengah keramaian. Kemudian, pulang menjelang dini hari ketika rasa kantuk mulai menyerang. Aku terbangun dengan perasaan letih dan kepala pening.

Pemuda itu mengetuk pintu kamar saat aku baru selesai mandi untuk memberitahuku bahwa sarapan sudah siap. Aku merasa lebih baik setelah sarapan. Rasa makanan di wisma ini tidak banyak berubah. Sedap, tetapi agak manis.  Dulu, Pak Budi sering memberikan sisa makanan dan memakannya berdua di teras belakang. Sambil bercerita tentang masa kanak-kanaknya dan perjuangan hidupnya. Sama seperti aku, ia juga hidup sebatang kara. Aku memutuskan untuk berkeliling. Pukul tujuh pagi, anak-anak sekolah berseliweran dengan sepedanya. Sebagian bergerombol menunggu angkutan. Becak-becak yang dipenuhi sayur-mayur memenuhi jalan. Kesibukan pagi di kota kecil ini sudah mulai. Aku menyeberang jalan, memasuki lorong kecil menuju tempat kosku dulu.

Aku mencoba mengingat-ingat. Rumah tua itu berjarak kurang lebih seratus meter dari pinggir jalan raya, menghadap ke utara. Namun, rumah yang kucari tidak ada. Sebagai gantinya, berdiri sebuah rumah dengan gaya kota. Rumah tembok dengan teras diapit tiang dan dinding berlapis keramik hijau tua. Aku masih mengenali sumur yang terletak di halaman depan. Dulu, setiap pagi aku menimba air untuk mandi dan mencuci pakaian. Aku juga membantu Pak Dirman dan istrinya, pemilik rumah kos itu, untuk memenuhi kolam mereka. Sebagai upahnya, aku mendapatkan sepiring nasi hangat dan sayur lodeh serta sepotong tempe untuk sarapan.

Rumah Pak Slamet yang berhadapan dengan tempat kosku masih seperti dulu. Rumah model joglo yang sekarang kelihatan makin kusam. Aku juga masih menjumpai ikatan kayu bakar dan daun kelapa kering di samping rumah. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Seorang bocah kecil membukakan pintu.

”Pak Slamet ada, Dik?” Ia menatapku heran. Kemudian, berlari ke dalam memanggil ibunya. Tak lama, seorang wanita menjumpaiku. Wajahnya masih seperti dulu, hanya matanya tidak lagi bersinar seperti dulu. Kerut-kerut halus juga mulai terlihat di wajahnya.

”Mbak Sri...,” aku berseru gembira.  Wanita itu menatapku, mencoba mengingat-ingat.
”Aku Probo, yang dulu kos di tempat Pak Dirman.” Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya berseru gembira.

”Oalah Gusti, Dik Probo...” Ia mengajakku berbincang-bincang di ruang tamu dan memanggil suaminya untuk menemani kami.

”Bapak ke mana, Mbak?”
”Sampun seda, dik”. Mata Mbak Sri berkaca-kaca. Kemudian, ia menuturkan bahwa Pak Slamet meninggal hampir sepuluh tahun yang lalu setelah mengalami kelumpuhan selama dua tahun.

”Pak Dirman dan Ibu?” Mbak Sri menjelaskan, Pak Dirman juga sudah tidak ada. Istrinya sekarang tinggal di Malang dengan anak bungsunya. Rumah Pak Dirman sudah dijual kepada kerabat jauhnya. Lingkungan sekitar tempat kosku sudah banyak berubah. Orang-orang yang kukenal kebanyakan pergi merantau atau pindah menetap di tempat lain mengikuti pasangannya. Sisa pagi itu kuhabiskan dengan menyusuri bagian lain kota.

Tempat pertama yang kukunjungi adalah Percetakan Redjo di sebelah selatan pendopo kabupaten. Di situlah aku pernah bekerja dengan gaji pas-pasan untuk membayar kos dan sekadar makan. Aku ingin mengunjungi Koh A Liem, pemilik percetakan. Jalan di sekitar pendopo kabupaten masih sejuk seperti dulu. Bedanya, sekarang sepanjang jalan dihiasi pot-pot bunga besar dan lampu jalan. Beberapa papan reklame juga menyemarakkan jalan. Aku terus menyusuri jalan sampai perempatan, tetapi tempat yang kucari tidak kujumpai. Di bekas tempat percetakan itu sekarang berdiri sebuah toko bangunan besar.

Aku melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat lain yang sering kukunjungi, warung makan Yu Tarmi. Warung makan itu dulu selalu ramai dikunjungi pelanggan. Selain masakannya enak, harganya juga terjangkau. Yu Tarmi selalu meladeni setiap pelanggannya dengan ramah. Tidak pernah ia kelihatan cemberut atau bersungut-sungut. Sesekali, ia juga mengizinkan aku untuk berhutang ketika aku kehabisan uang. Namun, lagi-lagi aku tidak menemukan tempat yang kucari.

Pada awalnya, aku bahkan gagal menemukan lokasi warung tersebut. Aku terus menyusuri jalan sekitar alun-alun, mencoba mencari tempat-tempat yang bisa membangkitkan kenangan masa laluku. Namun, kota kecil ini ternyata sudah banyak berubah. Menjelang zuhur, aku menghempaskan tubuh dengan letih di bangku kecil di bawah pohon. Apa yang kulakukan di kota kecil ini? Pertanyaan itu muncul di kepalaku. Mengapa aku melakukan perbuatan bodoh ini? Tersaruk-saruk memunguti ceceran kenangan masa laluku. Benarkah sekadar mengikuti kenangan masa lalu yang mendesak-desak memoriku ataukah aku ingin mendapatkan kegembiraan dari menyusuri masa laluku dengan menjumpai orang-orang yang pernah menjadi bagian dari masa laluku? Karena sekarang, dalam hidupku, tak ada lagi orang yang benar-benar kukenal. Sejak kematian istri dan anakku, semua orang menjadi asing buatku. Bahkan, terkadang aku merasa asing dengan diriku sendiri. Mungkin karena itulah, aku berada di kota ini. Mencoba menemukan kembali jati diriku. Adzan zuhur terdengar dari menara Masjid Agung. Beberapa pria bersarung dan berpeci melangkah bergegas memasuki masjid. Suara adzan itu menggetarkan hatiku.

”Probo, ayo, Le, cepat. Sudah adzan....” Pak Dirman menarik lenganku, mengajakku melangkah lebih bergegas.
”Inggih, Pak....” sahutku.

Bersama Pak Dirman, dulu, setiap Magrib aku pergi ke masjid untuk salat berjamaah. Usai salat Magrib dan wiridan, Pak Dirman mengajarku membaca Alquran di sudut masjid, dekat tiang kayu besar di sebelah selatan. Kami akan tilawah sampai tiba waktu salat Isya dan baru pulang ke rumah setelah salat Isya. Setiap subuh, Pak Dirman juga membangunkanku untuk salat Subuh ke masjid. Aku bangkit, sesuatu dalam diriku mendorongku untuk melangkah ke masjid. Masjid agung itu masih sama, teduh dan menenteramkan. Mataku berkaca-kaca. Ya Allah, sudah berapa lama aku tidak bersujud menyembahmu? Para jamaah salat Zuhur sudah bersiap-siap akan shalat saat aku membasuh wajahku di tempat wudhu. Kurasakan kedamaian menjalari hatiku. Mudah-mudahan ini bukan sekadar persinggahan sesaat bagiku.

(Sumber: Inayati)