Pria cerdik berpostur kecil yang dijuluki ''Si Kancil" ini dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917 dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Semenjak kecil, ia gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi. Setelah lulus HIS, sang ayah menyuruhnya memimpin toko Murah, di seberang bioskop Deli. Di sela-sela kesibukan barunya itu, ia banyak membaca buku yang memperkaya pengetahuan dan wawasannya Ketika usianya masih belasan tahun, ia pernah ditahan polisi Dinas Intel Politik di Sipirok pada 1934 dan dihukum dua bulan penjara karena melanggar larangan berkumpul.
Adam Malik pada usia 17 tahun telah menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar (1934—1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik merantau ke Jakarta.
Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara 1937 berkantor di JIn. Pinangsia 38 Jakarta Kota. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis di harian Pelita Andalas dan Majalah Partindo.
Pada zaman Jepang, Adam Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda. Demi mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta. Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan Komite Van Aksi, terpilih sebagai Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945–1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen. Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi Ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia–Belanda, untuk penyerahan Irian Barat pada 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965).
Pada masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam, Roeslan Abdulgani, dan Jenderal Nasution dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontrarevolusi. Ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Pada 1966, Adam disebutsebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Sejak 1966 sampai 1977 ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II atau Menlu ad Interim dan Menlu RI. Sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara lain. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN pada 1967.
Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Pada 1977, ia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3 menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia di calonkan lagi. Beberapa tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan banyak. Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah. Setelah mengabdikan diri demi bangsadan negaranya, H. Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever. Kemudian, istri dan anak-anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan.
Nice artikelnya :)
ReplyDeleteTernyata banyak juga orang2 yang di balik layar yang membantu memperjuangkan kemerdekaan indonesia