Peristiwa Politik Indonesia Pascapengakuan Kedaulatan


Setelah sekian lama bangsa Indonesia berjuang menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Sekutu dan Belanda yang masih ingin menancapkan kekuasaannya, akhirnya bangsa Indonesia berhasil kembali lagi pada cita-cita semula, yaitu pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perjuangan bangsa Indonesia belum selesai dengan kembalinya ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu karena di negara kita muncul gerakan-gerakan yang berusaha untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan-gerakan itu justru muncul dari masyarakat kita sendiri.

Gerakan-gerakan itu mencoba memisahkan diri dan menghimpun kekuatan-kekuatan sendiri, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Mereka berusaha memengaruhi rakyat dan menyebarkan fitnah-fitnah yang menjadikan rakyat benci terhadap negara. Kelompok-kelompok yang berusaha memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu melakukan berbagai pemberontakan. Pemberontakan tersebut antara lain pemberontakan PKI (Madiun) 1948 dan pemberontakan DI/TII.

1. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun 1948
Pemberontakan ini dipimpin oleh Muso. Tujuan dilakukannya pemberontakan PKI Madiun adalah untuk meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menggantikannya dengan negara komunis. Pemberontakan ini dapat ditumpas pada 30 September 1948.

2. Pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Insonesia (TII)
Pemimpin gerakan pembentuk negara Islam adalah Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo. Pada perkembangan selanjutnya, ia diakui sebagai pimpinan tertinggi dari DI/TII di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Gagasan mendirikan negara Islam Indonesia telah dicanangkan pada tahun 1942. Di Malangbong oleh Kartosuwiryo didirikan pesantren Sufah. Selain berfungsi sebagai pesantren, digunakan pula sebagai tempat latihan kemiliteran bagi pemuda Islam, khususnya Hizbullah dan Sabilillah maupun untuk menyebarluaskan propaganda pembentukan negara Islam.

Melalui majelis umat Islam yang kemudian dibentuk, Kartosuwiryo diangkat sebagai Imam dari Negara Islam Indonesia (NII). Selanjutnya dibentuk angkatan perang yang diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII) yang ditempatkan di daerah pegunungan di sekitar Jawa Barat. Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo secara resmi menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang berlandaskan Kanun Asasi. 

Gerakan DI/TII ini tidak hanya terjadi di Jawa Barat saja. Melainkan juga terjadi di daerah-daerah lain, yaitu Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Setiap daerah memiliki pemimpin-pemimpin sendiri. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin Amir Fatah, di Aceh dipimpin Daud Beureuh, di Sulawesi Selatan di pimpin oleh Khahar Muzakar, dan di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar.

Berkat kegigihan serta semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, berbagai gerakan tersebut bisa ditumpas. Dan, kita bisa kembali lagi ke Negara Kesatuan Republlik Indonesia. Nah, setelah kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagaimanakah peristiwa politik di negara kita?

1. Masa Demokrasi Liberal
Diberlakukannya UUDS 1950 yang mengatur ketentuan bahwa Indonesia menganut sistem multipartai dan demokrasi liberal dengan corak pemerintahan kabinet parlementer mengakibatkan berbagai partai politik bermunculan bagai jamur di musim hujan.

a. Pelaksanaan UUDS 1950 dan Sistem Multipartai
Dalam kabinet parlementer, pemerintahan sepenuhnya dijalankan oleh parlemen yang merupakan perwakilan rakyat melalui partai-partai politik. Karena banyaknya partai politik yang ada, maka pemerintahan mudah sekali goyah dan jatuh. Ini disebabkan partai politik tersebut saling berebut untuk memegang pemerintahan sehingga antarpartai politik mencoba untuk saling menjatuhkan. Usia sebuah kabinet pun tidak pernah bertahan lama karena pada saat suatu partai memegang pucuk pemerintahan, maka partai lainnya akan mencoba menjatuhkan untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan.

Walau begitu, pada masa demokrasi liberal ada dua partai yang paling kuat, yakni Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia). Pada saat tertentu, kedua partai tersebut berkoalisi, namun dalam beberapa kesempatan lainnya, kedua partai tersebut saling bersaing dan membentuk koalisi masing-masing dengan partai lainnya. Beberapa kabinet yang sempat terbentuk pada masa demokrasi liberal adalah sebagai berikut.

1) Kabinet Natsir (September 1950–Maret 1951)
Kabinet ini merupakan kabinet pertama setelah kembali menjadi negara kesatuan. Kabinet ini dilantik
pada tanggal 7 September 1950 dengan Moh. Natsir (Partai Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini didominasi oleh orang-orang Partai Masyumi.

Kabinet ini jatuh karena mosi tidak percaya yang diajukan oleh PNI dalam parlemen, berkenaan dengan pencabutan peraturan pemerintah tentang DPRS dan DPRDS. Program Kabinet Natsir adalah sebagai berikut.
a) Menyempurnakan susunan pemerintahan.
b) Meningkatkan dan memperkukuh ekonomi rakyat.
c) Memperjuangkan Irian Barat masuk ke dalam wilayah RI.

2) Kabinet Sukiman (April 1951–Februari 1952)
Kabinet ini dipimpin oleh Sukiman Wiryosanjoyo dari Masyumi dan Suwiryo dari PNI. Kabinet ini merupakan koalisi antara Partai Masyumi dengan PNI. Kabinet Sukiman jatuh karena mosi tidak percaya akibat dilaksanakannya kesepakatan antara Menteri Luar Negeri Soebandrio dengan duta besar Amerika Serikat. Hal ini disebabkan bantuan ekonomi dan militer menurut parlemen tidak sejalan dengan kebijakan politik luar negeri bebas aktif.

3) Kabinet Wilopo (April 1952–Juni 1953)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo. Kabinet Wilopo disebut zaken kabinet, yakni kabinet yang terdiri atas para ahli di bidangnya. Kabinet Wilopo jatuh karena mosi tidak percaya akibat terjadinya Peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara, yakni peristiwa di mana para petani dan polisi terlibat bentrokan.

4) Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953–Juli 1955)
Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo dari PNI. Kabinet Ali Sastroamijoyo merupakan koalisi antara PNI dengan Partai Nahdatul Ulama (NU). Kabinet Ali Sastroamijoyo I jatuh karena Partai NU menarik dukungannya dan mosi tidak percaya yang diajukan parlemen tentang pergantian pucuk pimpinan angkatan darat. Keberhasilan kabinet ini adalah menyelenggarakan Konferensi Asia–Afrika.

5) Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955–Maret 1956)
Kabinet ini dipimpin oleh Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Pada masa kabinet inilah pemilu untuk pertama kalinya dilaksanakan di Indonesia, yaitu pada tahun 1955. Kabinet ini juga mencatat prestasi lainnya, yakni berhasil membubarkan Uni Indonesia–Belanda. Walau begitu, kabinet ini pun akhirnya jatuh karena kurang memperoleh banyak dukungan di parlemen.

6) Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956–Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali memimpin kabinet setelah jatuhnya kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan Masyumi, dengan Partai NU. Kabinet Ali Sastroamijoyo II jatuh setelah banyak terjadi pergolakan di daerah yang berujung pada pemberontakan-pemberontakan bersenjata. Kabinet Ali Sastroamijoyo I mencatat prestasi tersendiri melalui penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Konferensi Asia Afrika tahun 1955 menghasilkan Dasasila Bandung yang melatarbelakangi lahirnya Gerakan Nonblok.

7) Kabinet Juanda (April 1957–Juli 1959)
Kabinet ini dipimpin oleh Ir. Juanda dan disebut juga dengan Kabinet Karya. Seperti halnya Kabinet Wilopo, kabinet ini merupakan zaken kabinet yang terdiri atas para ahli di bidangnya. Kabinet Juanda kemudian jatuh karena keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Program Kabinet Juanda disebut Panca Karya yang isi pokoknya adalah sebagai berikut.
a) Membentuk dewan nasional.
b) Normalisasi keadaan RI.
c) Mempercepat pembangunan.
d) Pembatalan Konferensi Meja Bundar (KMB).
e) Memperjuangkan Irian Barat.

b. Perencanaan dan Pelaksanaan Pemilu
UUDS 1950 menekankan bahwa sistem yang digunakan di Indonesia adalah sistem demokrasi liberal. Namun suasana demokratis belum terasa sepenuhnya karena orang-orang yang duduk di parlemen bukanlah wakil rakyat yang sesungguhnya, melainkan orang-orang yang diutus oleh partai politik saja. Untuk menumbuhkan suasana demokrasi yang sesungguhnya, masyarakat menuntut diadakannya pemilihan umum (pemilu).

Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I, pemerintah mencoba merintis penyelenggaraan pemilu dengan membentuk Panitia Pemilu (Papilu) pada bulan Mei 1954. Papilu merencanakan pelaksanaan pemilu dalam dua tahap, yakni sebagai berikut.
  1. Pemilu tahap I diselenggarakan tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.
  2. Pemilu tahap II diselenggarakan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Badan Konstituante (lembaga yang bertugas menyusun undang-undang dasar).

Kampanye Pemilu 1955

Pemilu baru dapat terlaksana pada masa Kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955. Lebih dari 40 juta rakyat Indonesia berduyun-duyun datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya. Terlepas dari segala pergolakan dan kekacauan pada masa tersebut, pemilu pertama dapat berjalan dengan tertib, jujur, dan adil tanpa diwarnai politik uang atau paksaan pihak mana pun. Oleh karena itu, banyak ahli politik yang menyatakan bahwa Pemilu 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia.

Pemilu 1955 diikuti oleh 28 partai politik dan beberapa calon perorangan. Pemilu ini memperebutkan 272 kursi di DPR dan 520 kursi di Badan Konstituante. Pada pemilu ini, ada empat partai yang meraih kursi terbanyak. Keempat partai tersebut adalah Masyumi, PNI, PKI, dan NU. Berikut ini perolehan kursi di DPR pada Pemilu 1955.
1) Masyumi dengan perolehan 60 kursi.
2) PNI dengan perolehan 58 kursi.
3) NU dengan perolehan 47 kursi.
4) PKI dengan perolehan 32 kursi.
5) Sisa 75 kursi lainnya terbagi atas partai-partai lain dan calon perorangan.

Adapun di Badan Konstituante, perolehan kursi adalah sebagai berikut.
1) Masyumi dengan perolehan 119 kursi.
2) PNI dengan perolehan 112 kursi.
3) NU dengan perolehan 91 kursi.
4) PKI dengan perolehan 80 kursi.
5) Sisa 118 kursi lainnya terbagi atas partai-partai lain dan calon perorangan.

Walau Pemilu 1955 terlaksana dengan baik dan demokratis, DPR dan Badan Konstituante tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Partai-partai yang duduk di DPR maupun Badan Konstituante cenderung mementingkan kepentingan kelompoknya daripada aspirasi rakyat. Oleh karena itu, stabilitas politik menjadi tidak menentu. Keadaan tersebut memicu timbulnya pergolakan di sejumlah daerah yang memunculkan berbagai pemberontakan. Krisis politik semakin memuncak, sehingga mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut menandai berakhirnya masa demokrasi liberal di Indonesia.

2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah dilaksanakannya Pemilu 1955, Badan Konstituante mulai bersidang untuk menyusun undang-undang dasar sebagai pengganti UUDS 1950. Namun, hingga tahun 1958 sidang tidak kunjung usai. Perdebatan berlangsung berkepanjangan dalam setiap sesi persidangan karena tidak ada pihak yang mau mengalah. Salah satu sebab yang menjadi sumber perdebatan adalah dasar negara Indonesia yang hendak dicantumkan dalam undang-undang dasar yang baru.

Di tengah kondisi yang tidak menentu tersebut, pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno berpidato di tengah Sidang Badan Konstituante. Dalam pidatonya, presiden menyarankan agar Badan Konstituante menempuh langkah singkat dengan kembali ke UUD 1945. Guna merespon usul tersebut, Badan Konstituante melakukan pemungutan suara dalam dua periode, yaitu pada tanggal 29 Mei dan tanggal 2 Juni 1959. Dalam kedua pemungutan suara itu, tidak semua anggota Badan Konstituante hadir sehingga sidang tidak memenuhi kuorum. Hal ini mengakibatkan masalah semakin berlarut-larut.

Krisis pemerintahan pun terjadi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia. Hal tersebut diperburuk oleh terjadinya pergolakan-pergolakan di berbagai daerah karena keresahan masyarakat akan keadaan politik yang tidak menentu. Beberapa pergolakan berkembang menjadi pemberontakan yang bertujuan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Indonesia semakin berada di ambang kehancuran akibat berbagai pemberontakan yang timbul dan kegagalan Badan Konstituante untuk menyusun undang-undang dasar baru. Atas pertimbangan itu, maka pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut.
  1. Membubarkan Badan Konstituante.
  2. Pencabutan UUDS 1950 dan pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.
  3. Presiden akan segera membentuk MPR Sementara dan DPA Sementara.
Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 itu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Mahkamah Agung juga membenarkan dekrit tersebut. Bahkan, DPR hasil Pemilu 1955 melakukan sidang untuk membahas dekrit tersebut pada tanggal 22 Juli 1959. Dari hasil sidang tersebut, DPR pun menyetujui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara aklamasi dan menyatakan siap untuk bekerja berdasarkan UUD 1945.

Sementara itu, dari kalangan militer juga memberikan dukungan. Hal itu ditunjukkan oleh Kepala Staff Angkatan Darat TNI dengan memerintahkan pada seluruh jajaran TNI–AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sehubungan dengan pelaksanaan jalannya pemerintahan, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberikan pengaruh yang luar biasa. Dengan diberlakukannya UUD 1945, Presiden Soekarno menyatakan bahwa demokrasi liberal ala Barat tidak cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Oleh karena itu, beliau mencoba menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Sisi positif dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut.
  1. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik yang berkepanjangan.
  2. Memberi pedoman yang jelas (UUD 1945) bagi kelangsungan negara.
  3. Merintis pembentukan MPR Sementara dan DPA Sementara selama masa demokrasi liberal tertunda.
3. Masa Demokrasi Terpimpin
Istilah demokrasi terpimpin berasal dari penggalan sila ke empat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpinoleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.Sejak itu, praktis kepemimpinan dan pemerintahan bertumpu kepada Presiden Soekarno. Namun setelah diberlakukannya UUD 1945 dan demokrasi terpimpin, presiden sangat mendominasi pemerintahan dan sangat menentukan segala urusan yang berkenaan dengan penataan kehidupan politik di Indonesia. Akibat pemberlakuan demokrasi terpimpin, hakikat awal Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk menata kembali kehidupan politik dan pemerintahan yang telah rusak pada masa demokrasi liberal mengalami penyimpangan. Pemerintahan cenderung menjadi sentralistik, karena terpusat pada presiden saja. Kondisi tersebut menjadikan posisi presiden sangat kuat dan berkuasa, sehingga berkali-kali terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap UUD 1945 dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.
a. Pembentukan MPRS
Salah satu upaya yang dilakukan Presiden Soekarno untuk menata kembali pemerintahan Indonesia adalah membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) berdasarkan Penpres No.12 Tahun 1959. Menurut penpres tersebut, tugas MPRS terbatas pada kewenangan menetapkan GBHN.

Dalam kurun waktu 1959–1965, MPRS sempat melaksanakan Sidang Umum sebanyak tiga kali di Gedung Merdeka Bandung. Beberapa hasil Sidang Umum tersebut menunjukkan indikasi kuat bahwa MPRS hanya berfungsi untuk memperkuat posisi presiden dan tunduk pada segala keinginan presiden. Beberapa hasil persidangan tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Penetapan pidato presiden (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN.
  2. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
  3. Penetapan pidato presiden yang berjudul ‘Berdikari’ (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri Indonesia.
Ketetapan tersebut jelas sebuah pengingkaran terhadap UUD 1945. Karena GBHN merupakan hasil persidangan MPRS yang mengacu pada kepentingan dan kebutuhan rakyat, presiden hanya menjabat selama lima tahun, dan politik luar negeri Indonesia bersifat bebas aktif dan tidak memihak.

b. Pembentukan DPRGR dan Pembubaran DPR Hasil Pemilu 1955
Presiden membubarkan DPR hasil pilihan rakyat pada Pemilu 1955. Hal ini disebabkan DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Untuk mengganti DPR, presiden membentuk DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Melalui Penpres No. 24 Tahun 1960 seluruh anggota DPRGR diangkat oleh presiden. Akibatnya, DPRGR pun sangat berpihak pada pemerintah serta mengikuti seluruh kebijakan dan keputusan pemerintah.

Pembubaran DPR hasil pilihan rakyat pada Pemilu 1955 merupakan sebuah pengkhianatan aspirasi rakyat. Selain itu, pembubaran DPR oleh presiden sebenarnya merupakan pelanggaran serius terhadap UUD 1945, karena posisi DPR dan presiden adalah sejajar. Demikian pula dengan pengangkatan anggota DPRGR oleh presiden, karena anggota DPR seharusnya dipilih oleh rakyat.

c. Pembentukan DPAS
Salah satu upaya lain yang dilakukan oleh Presiden Soekarno untuk menata pemerintahan adalah membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) menurut Penpres No. 3 Tahun 1959. Pada pelaksanaannya, DPAS diketuai oleh presiden sendiri dan para anggotanya pun diangkat oleh presiden. Seperti halnya MPRS dan DPRGR, DPAS pun cenderung membela keinginan dan kebijakan pemerintah karena para anggotanya diangkat oleh presiden sendiri. Hal ini terbukti bahwa DPAS mengusulkan agar pidato presiden yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kitadijadikan GBHN yang ditempatkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia.

d. Penghapusan Jabatan Wakil Presiden
Sejak 1 Desember 1956, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya. Sejak itulah jabatan wakil presiden kosong. Selanjutnya Presiden menetapkan jabatan wakil presiden dihapuskan dan untuk menggantikannya, presiden membuat sebuah jabatan yang disebut Menteri Pertama. Pada 9 Juli 1959, presiden membentuk sebuah kabinet yang dinamakan Kabinet Kerja. Jabatan menteri pertama dalam kabinet tersebut dijabat oleh Ir. Juanda.

e. Ajaran Nasakom
Ketika memasuki masa demokrasi terpimpin presiden mencoba untuk merumuskan sebuah pemahaman kehidupan berbangsa dan bernegara yang menyatukan tiga paham utama di Indonesia, yakni nasionalis, agama, dan komunis. Pemahaman kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut dinamakan ajaran Nasakom. Presiden menyatakan bahwa Nasakom merupakan cermin kesatuan berbagai paham yang ada di Indonesia. Menurutnya, persatuan seluruh Indonesia dapat terwujud dengan menerima dan mengamalkan ajaran Nasakom. Sejak dicetuskannya ajaran Nasakom, pemerintah giat memasyarakatkan ajaran itu ke tengah-tengah masyarakat. Pada kenyataannya, ajaran Nasakom ternyata dimanfaatkan oleh PKI untuk kepentingan-kepentingan penyebaran paham komunisme di Indonesia. Perlahan-lahan, ajaran Nasakom digunakan oleh PKI untuk menggusur Pancasila sebagai dasar negara.

f. Pembatasan Partai Politik
Ketika memasuki masa demokrasi terpimpin, presiden mencoba membatasi kegiatan partai-partai politik. Presiden mengeluarkan penpres yang isinya membatasi ruang gerak aktivitas politik. Partai politik yang tidak memenuhi syarat sesuai penpres akan dibubarkan. Akibatnya, dari 28 partai politik yang ada menjadi 11 partai saja.

Pembatasan jumlah dan kegiatan partai politik semakin memperkuat kedudukan dan posisi presiden, karena tidak ada lagi kontrol dan kritik jalannya pemerintahan. Beberapa partai politik yang sering bersuara kritis terhadap kebijakan presiden pun dibubarkan. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960 dan No. 201 Tahun 1960, pada tanggal 17 Agustus 1960 pemerintah membubarkan Partai Masyumi dan Partai Sosial Indonesia (PSI).

g. Politik Poros dan Politik Mercusuar
Pemikiran presiden yang revolusioner ketika itu akhirnya membawa Indonesia menyimpang dari peran politik luar negeri bebas aktif yang ditandai dengan berbagai kebijakan yang menempatkan Indonesia lebih dekat dengan negaranegara blok Timur. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara anggota Gerakan Nonblok. Pandangan politik presiden ketika itu menyatakan bahwa di dunia ini ada dua kekuatan yang saling berlawanan yakni kekuatan OLDEFO (Old Emerging Forces) atau blok Barat dan NEFO (New Emerging Forces) atau blok Timur. Menurut presiden, OLDEFO merupakan kekuatan lama yang beranggotakan negara-negara kolonialis yang bersifat kapitalis.

Sementara NEFO adalah kekuatan baru yang mewakili sikap antikolonialis dan antikapitalis. Presiden menetapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pilar kekuatan NEFO. Sejak itu, Indonesia cenderung menjaga jarak dengan negara-negara blok Barat dan lebih dekat dengan negara-negara blok Timur. Politik akibat pandangan NEFO dan OLDEFO tersebut berkembang menjadi lebih keras dengan dilancarkannya politik poros oleh pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, terjadilah politik luar negeri yang mengutamakan poros tertentu seperti Poros Jakarta–Peking (Indonesia dan Cina), Poros Jakarta–Phnom Penh–Hanoi–Peking–Pyongyang (Indonesia, Kamboja, Vietnam Utara, Cina, dan Korea Utara).

Hal ini berarti Indonesia lebih memihak blok sosialis/komunis, sehingga politik luar negeri tidak bebas dan aktif lagi. Selanjutnya sebagai negara yang menjadi pilar NEFO, presiden melakukan kebijakan politik mercusuar dengan membuat berbagai proyek besar untuk memunculkan citra Indonesia sebagai negara kuat. Politik mercusuar meliputi pembangunan kompleks olahraga Gelora Bung Karno dan penyelenggaraan pesta olahraga GANEFO (Games of the New Emerging Forces).

4. Tumbangnya Orde Lama (Rezim Soekarno) dan naiknya Orde Baru (Rezim Soeharto)
Jatuhnya Rezim Soekarno dan Soeharto mempunyai kesamaan, yaitu atas andil para mahasiswa dalam aksi unjuk rasa. 
a. Tumbangnya Orde Lama
Peristiwa G 30S/PKI dan melambungnya harga-harga barang pokok memicu terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat. Demonstrasi ini dipelopori oleh para mahasiswa dan pelajar. Para mahasiswa mengoordinasikan gerakan unjuk rasa mereka dengan membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), sementara para pelajar membentuk KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Kegiatan mahasiswa tersebut segera diikuti oleh elemen masyarakat lain.

Pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI dan KAPPI melakukan unjuk rasa besar-besaran di depan kantor DPRGR. Akhirnya, tercetuslah Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat atau lebih dikenal dengan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang terdiri atas tiga poin utama, yaitu sebagai berikut.
  1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
  2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
  3. Turunkan harga barang-barang.
Setelah dikemukakannya Tritura, pemerintah tampaknya tetap tidak mau mendengarkan tuntutan tersebut. Presiden justru melakukan perombakan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan tersebut dijuluki Kabinet Seratus Menteri karena terdiri atas banyak menteri.

Pada tanggal 24 Februari 1966, presiden hendak melakukan pelantikan Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan di Istana Merdeka. Saat itu, para mahasiswa berunjuk rasa dan memblokir jalan-jalan menuju Istana Merdeka untuk menggagalkan pelantikan tersebut. Dalam suasana seperti itu, terjadi bentrokan antara mahasiswa dan tentara yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa bernama Arief Rachman Hakim. Keesokan harinya, pemerintah membubarkan KAMI. Angkatan darat yang pada masa demokrasi terpimpin merupakan saingan PKI pun sejak awal jelas mendukung aksi Tritura. Bentuk dukungan yang dilakukan oleh angkatan darat meliputi beberapa hal. Misalnya, kodam-kodam se-Indonesia melarang pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya masing-masing. Kemudian, Kodam Jaya ikut memberikan perlindungan pada mahasiswa mantan anggota KAMI saat membentuk Laskar Arief Rachman Hakim.

Keamanan negara saat itu sangat gawat karena pemerintah sudah tidak mempunyai wibawa di mata rakyat. Karena itu, guna memulihkan keamanan negara, tiga orang perwira tinggi angkatan darat, yakni Mayjen. Basuki Rahmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen. M. Yusuf (Menteri Perindustrian), dan Brigjen. Amir Mahmud (Panglima Kodam Jaya) menghadap presiden di Istana Bogor. Pada kesempatan itu, mereka menyampaikan bahwa Angkatan Darat tidak akan pernah mengkhianati presiden. Selain itu, mereka mengusulkan agar Men/Pangad Letjen. Soeharto diberi kepercayaan untuk memulihkan keamanan. Setelah itu, presiden mengeluarkan surat perintah kepada Men/Pangad untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Berdasarkan wewenang Supersemar, Men/Pangad segera mengambil beberapa kebijakan yang dianggap perlu di antaranya sebagai berikut.
  1. Membubarkan PKI dan seluruh ormasnya serta menyatakan PKI sebagai partai terlarang.
  2. Mengamankan 15 orang menteri yang diduga kuat terlibat atau mendukung G 30S/PKI
  3. Membersihkan MPRS dan lembaga negara lain dari unsur-unsur G 30S/PKI dan mengembalikan peran lembaga-lembaga itu sesuai UUD 1945.
b. Naiknya Orde Baru
Sejak dikeluarkannya Supersemar, pemerintah mencoba untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Upaya penataan tersebut difokuskan pada lembaga pemerintahan. Pada pelaksanaannya, penataan tersebut berimbas pada jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai pemegang kekuasaan. Sebagai tindak lanjutnya dilakukan reorganisasi MPRS. 

MPRS yang pada masa demokrasi terpimpin tidak dapat melaksanakan kedaulatan rakyat karena cenderung tunduk pada kebijakan pemerintah, diupayakan agar kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dapat pulih. Selanjutnya guna menciptakan stabilitas politik, MPRS mengadakan Sidang Umum yang ke-4 di Jakarta pada tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966. Keputusan penting yang dihasilkan dalam Sidang Umum tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Menetapkan Supersemar sebagai ketetapan MPR.
  2. Mengembalikan kedudukan seluruh lembaga negara pada posisi yang diatur dalam UUD 1945.
  3. Menetapkan rencana penyelenggaraan pemilu selambatlambatnya pada 5 Juli 1968.
  4. Mencabut ketetapan MPRS yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
  5. Menetapkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
  6. Menetapkan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme dan komunisme di Indonesia.
  7. Menetapkan sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI.
  8. Menetapkan penegasan kembali politik luar negeri RI.
Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 dimulailah koreksi total atas penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Lama serta usaha untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Atas dasar itu, tanggal 11 Maret dijadikan sebagai hari lahirnya Orde Baru. Supersemar merupakan tonggak lahirnya Orde Baru.

Untuk memperbaiki lembaga pemerintahan, Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet ini dibentuk untuk menjamin pelaksanaan Tritura di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kabinet Ampera diresmikan pada 28 Juli 1966 untuk masa kerja dua tahun. Kabinet Ampera masih berada di bawah Presiden Soekarno, namun dalam pelaksanaannya Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar ditempatkan sebagai ketua presidium yang memimpin kabinet. Akibatnya, terjadi dualisme kepemimpinan nasional.  Di satu sisi, Soekarno masih memegang jabatan presiden, sedang di sisi lain Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan. 

Namun, pada tanggal 7–12 Maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Pidato jawaban presiden atas tuntutan MPRS yang diberi judul Nawaksara ditolak MPRS sehingga Presiden Soekarno harus turun dari jabatannya. Peristiwa tersebut melapangkan jalan bagi Soeharto sebagai orang yang dianggap paling berjasa dalam penanganan peristiwa G 30S/ PKI. Kemudian MPRS mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI. Akhirnya, dalam Sidang Umum MPRS 21–30 Maret 1968 secara resmi mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Maka, kekuasaan panjang Soeharto di Indonesia selama 32 tahun pun dimulai.


0 Response to "Peristiwa Politik Indonesia Pascapengakuan Kedaulatan"

Post a Comment