Dewa Kemiskinan dan Dewa Kekayaan sedang berdebat seru. Dewa kemiskinan merasa tersinggung dengan ucapan Dewa Kekayaan yang mengatakan hanya dirinyalah yang bisa membuat manusia bahagia.
“Sekarang terbukti. Aku lebih disukai bahkan dipuja daripada kamu. Dari ujung ke ujung dunia ini, tak ada yang membenciku. Beda denganmu. Tak ada yang mau mendengar namamu”. ejek Dewa Kekayaan.
“Aku tidak percaya, atau kita turun ke bumi dan mencari kebenaran itu”, ajak Dewa kemiskinan.
Lalu, keduanya turun ke bumi untuk membuktikan secara langsung. “Coba kau lihat manusia-manusia itu, dia tersenyum senang karena memiliki semuanya. Itu karena aku. Bahkan, berdoa pun mereka menginginkanku. Mana ada yang mengharapkan kamu”, kata Dewa Kekayaan makin sombong.
“Jangan buru-buru bangga. Kita cari yang lain”. Dewa Kemiskinan berusaha tenang, lalu, tiba-tiba ia mendengar tawa dari sebuah rumah.
“Kenapa mereka tertawa? Mereka, kan, keluarga miskin?” tanya Dewa kekayaan heran. Dewa Kemiskinan tak menjawab. Ia merubah diri menjadi sosok manusia.
“Apa yang sedang keluarga ibu tertawakan? Padahal sepertinya tidak ada hal yang lucu?”
“Kami selalu tertawa meski tidak ada hal yang lucu sekalipun. Kami tertawa karena kami bahagia”.
“Mana mungkin ibu bahagia kalau ibu miskin?” tanya Dewa Kekayaan yang juga ikut berubah menjadi manusia.
“Kebahagiaan, kan, bukan berarti harus kaya. Dulu kami pernah mempunyai uang lebih, tapi malah ketakutan. Takut kemalingan, takut ada yang minta, takut ditipu, dan selalu curiga pada orang. Lebih baik begini, memang kami miskin, tapi justru kami bisa belajar menghargai uang, belajar hemat, dan tidak takut dijahati”.
“Kalau kaya, kan, enak. Bisa makan enak, tidur di kasur empuk, pakai baju bagus, perhiasan, rumah besar dengan perabotan yang mahal.” kata Dewa Kekayaan.
“Sepertinya menyenangkan karena kami tidak punya apa-apa. Tetapi, saya yakin meski sudah memiliki banyak hal, orang-orang kaya itu pasti masih merasa kurang. Kalau buat saya yang penting sehat. Punya banyak uang, tapi sakit, kan, sama saja tidak menikmati. Toh, kalau mati nanti semua harta yang dimiliki tidak bisa dibawa.”
“Saya setuju dengan pendapat itu. Terima kasih.” kata Dewa Kemiskinan tersenyum sambil melirik pada Dewa kekayaan. “Terbukti, kan, tidak semua orang senang dengan kekayaan?”
0 Response to "Ukuran Kekayaan"
Post a Comment